Air merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Tanpa air, manusia tidak bisa bertahan hidup. Setiap manusia berhak mendapatkan akses air yang aman dan bersih. Namun, pil pahit yang harus diterima, kenyataannya tidak seperti itu.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia, pada 2022 secara global, setidaknya 1,7 miliar orang menggunakan sumber air minum yang terkontaminasi feses. Kontaminasi mikroba pada air minum akibat kontaminasi feses merupakan risiko terbesar terhadap keamanan air yang dikonsumsi.
Kelangkaan dan sulitnya mengakses air bersih ini membuat sebagian orang rela melakukan apa saja demi bisa bertahan hidup. Salah satunya seperti perempuan di Kenya; mereka dipaksa melakukan hubungan seks dengan imbalan air.
Kisah Pilu Perempuan di Kenya yang Dipaksa Berhubungan Seks untuk Dapat Air
Ilustrasi/Foto: Getty Images/Anadolu Agency/Gerald Anderson
Menurut data dari UNICEF, 9,9 juta orang di Kenya mengonsumsi langsung dari sumber air permukaan yang terkontaminasi dan diperkirakan 5 juta orang melakukan buang air besar sembarangan. Hanya 25 persen yang memiliki fasilitas cuci tangan menggunakan sabun dan air di rumah.
Kelangkaan air bersih sudah menjadi permasalahan berlarut-larut di Kenya. Masyarakat harus membayar air bersih kepada penyedia air swasta. Namun, tak hanya membayar dengan uang, banyak perempuan yang diminta dan dipaksa untuk berhubungan seks dengan para vendor untuk mendapatkan air bersih.
Caroline Munyoki (bukan nama sebenarnya), tinggal di daerah kumuh bernama Kibera yang yang terkenal di Kenya di ibu kota Nairobi.
Ia bercerita bahwa putrinya yang berusia 16 tahun dieksploitasi secara seksual oleh beberapa pria di lingkungannya ketika dia sedang mencari air minum.
Permukiman kumuh Kibera, yang terbesar di Afrika, adalah salah satu permukiman di Kenya yang selalu mengalami kelangkaan air.
“Saya sudah tinggal di daerah kumuh Kibera ini selama lebih dari 10 tahun. Air adalah masalah terbesar kami, kami tidak punya air pipa. Banyak sekali broker air yang juga menjadi bagian dari masalah kami,” kata Muyoki kepada DW.
Orang tua seperti Munyoki menyuruh anaknya, terutama perempuan, untuk mencari air. “Kami biasanya mengirim gadis-gadis muda kami untuk mengambil air dari para pedagang yang kemudian mengambil keuntungan dari mereka.”
Takut menceritakan penderitaan pribadi putrinya, ibu dua anak ini mengatakan para pelaku memperingatkannya untuk tidak berbicara.
Para pelaku mengancam Munyoki bahwa mereka akan merilis video putrinya yang dieksploitasi secara seksual, dengan harapan bisa memaksanya untuk bungkam.
“Sebagian besar anak-anak kami dibujuk untuk melakukan hubungan seks demi mendapatkan air, para pelaku kemudian mengambil foto dan video dari tindakan tersebut,” jelasnya.
Munyoki juga menuturkan bahwa para korban sering kali dipaksa untuk terus melakukan aktivitas seksual setelah diperingatkan jika mereka tidak setuju. Untuk itu, para predator seksual akan membagikan video tersebut di media sosial.
Menurut Munyoki, beberapa kekerasan seksual terjadi di dekat rumah. “Beberapa di antaranya bahkan terjadi di toilet umum. Bentuk eksploitasi ini sangat umum dan anak-anak perempuan kami tidak tahu apa yang mereka lakukan,” ungkapnya.
Air dan Sextortion di Kenya
Foto: Freepik/freepik
Apa yang terjadi di Kenya ini bisa disebut dengan sextortion atau sekstorsi, yaitu tindak pemerasan disertai ancaman penyebaran konten eksplisit dalam bentuk foto atau video seksual. Tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan berupa tambahan gambar dan video seksual, pemaksaan hubungan seks, uang, dan sebagainya.
“Sextortions mengacu pada eksploitasi seksual di mana penyalahgunaan kekuasaan merupakan cara pemaksaan, dalam hal ini dengan imbalan air,” ungkap Cecilia Ayot, mantan anggota dewan daerah Kabupaten Nairobi, dilansir dari laman Simavi.
“Karena para pelaku ini menyadari bahwa banyak keluarga tidak berada dalam kondisi mampu, mereka meminta seks daripada uang, baik dari anak perempuan yang bersekolah maupun dari perempuan yang sudah menikah. Kelangkaan komoditas tersebut biasanya mengakibatkan antrian yang sangat panjang, sehingga perempuan yang bisa tidur dengan pedagang air atau kartel diutamakan,” ujarnya.
Ayot juga menceritakan pengalamannya ketika ia harus mengambil air bersih di malam hari di daerahnya. Kala itu, para perempuan muda mengambil air di malam hari di lapangan golf, karena itulah satu-satunya tempat di mana mereka bisa mendapatkan air secara gratis.
“Selama waktu itu saya menyaksikan hal-hal buruk. Gadis-gadis muda sering diperkosa, dan saat ini, ada yang meninggal, ada pula yang menjadi pecandu narkoba. Hanya sedikit yang mampu mengatasi trauma tersebut,” ujarnya.
Praktik ini tentu menimbulkan banyak kehancuran, salah satunya adalah sebagian besar anak perempuan tertular HIV pada usia yang sangat muda.
“Hampir seluruh titik air di Laini Saba berada di tangan kartel yang menentukan biaya, sehingga menyebabkan harga air menjadi tinggi terutama ketika terjadi kelangkaan. Selain biayanya, titik-titik air ini juga menjadi ‘surga’ eksploitasi seksual,” katanya.
Air adalah Hak Asasi Manusia
Air adalah Hak Asasi Manusia/Foto: AFP via Getty Images/EDUARDO SOTERAS
Water.org, sebuah organisasi nirlaba global yang berupaya menghadirkan air dan sanitasi ke dunia, mengatakan bahwa dari 53 juta penduduk Kenya, 15 persen bergantung pada sumber air yang meragukan, termasuk kolam, sumur dangkal, dan sungai.
Sekitar 41 persen warga Kenya juga membutuhkan akses terhadap solusi sanitasi dasar. Tantangan-tantangan ini terutama terlihat di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan, di mana masyarakat sering kali tidak dapat tersambung ke infrastruktur air pipa.
Jaringan Masyarakat Sipil Air dan Sanitasi Kenya (The Kenya Water and Sanitation Civil Society Network/KEWASNET) mengatakan bahwa perempuan tidak lagi merasa aman saat harus mencari air di luar rumah mereka. Organisasi masyarakat sipil kini telah meluncurkan kampanye untuk mengakhiri praktik sekstorsi ini.
Vincent Ouma, kepala program di KEWASNET, mengatakan kepada DW bahwa jumlah perempuan yang terkena dampak pelecehan ini mungkin lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya karena banyak korban yang menderita dalam diam.
“Kami telah melakukan penelitian di pemukiman informal dan apa yang kami temukan adalah bahwa pemerasan seksual terjadi pada setidaknya 9 persen anak perempuan, dan ini dibuktikan oleh penelitian yang telah kami lakukan, jadi ini sebenarnya sebuah masalah,” kata Ouma.
Pejabat pemerintah juga telah mengkonfirmasi kasus yang mengkhawatirkan ini.
Beatrice Inyangala, Sekretaris Utama Pendidikan Tinggi dan Penelitian, mengatakan kepada DW bahwa masalah ini sangat umum terjadi di kalangan masyarakat miskin.
“Ada sudut pandang terhadap air yang sering terlewatkan karena di desa-desa ketika gadis-gadis muda pergi mengambil air dari sungai, mereka bertemu dengan pria muda dan kemudian mereka diperas untuk berhubungan seks,” kata Inyangala.
“Penelitian ini juga menemukan bahwa pemerasan seksual terjadi di daerah kumuh di mana gadis-gadis muda kadang-kadang harus kehilangan martabat mereka untuk mendapatkan air, padahal air adalah hak asasi manusia,” tambahnya.
Pemerintah telah menegaskan kembali komitmennya untuk mengakhiri seks demi air. Namun, tugas berat yang dihadapi adalah memastikan akses yang lebih aman terhadap air bersih bagi masyarakat yang kurang mampu.
Pilu, ketika air yang menjadi hak asasi bagi keberlangsungan hidup manusia justru menjadi sulit untuk didapatkan hingga menimbulkan petaka dan kekerasan bagi sebagian orang. Perempuan harus dapat menikmati hak mereka atas air tanpa harus mengkhawatirkan kesejahteraan fisik dan emosional mereka.
“Air adalah kebutuhan yang harus disediakan pemerintah secara gratis,” tegas Ayot.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di lumpkinsjail? Yuk, gabung ke komunitas pembaca lumpkinsjail, Lumpkinsjail.org.
(naq/naq)