LUMPKINSJAIL.ORG, Jakarta – Istilah thrift dan preloved dalam tren fashion banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendeskripsikan kegiatan jual beli barang bekas. Mulai dari pakaian, sepatu, aksesoris, buku, action figure, dan lain sebagainya.
Meski begitu, masih banyak orang yang tidak memahami perbedaan thrift dan preloved. Dua istilah ini kerap kali membuat bingung karena memiliki makna serupa. Padahal, thrift dan preloved mempunyai dua konsep yang berbeda.
Seperti diketahui saat ini tren thrifting atau belanja barang bekas di Indonesia cukup marak dilakukan. Selain digemari oleh kalangan anak muda, tren ini juga banyak diikuti oleh para orang tua. Umumnya, masyarakat berburu pakaian bekas keluaran merek besar dengan harga yang murah.
Lantas, apa sebenarnya perbedaan thrift dan preloved? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Irresistible Bazaar, menjual barang preloved bermerek, di Grand Indonesia. TEMPO | Astari Pinasthika Sarosa
Perbedaan mendasar thrift dan preloved terletak pada pengertiannya. Thrift adalah kegiatan membeli barang dalam kondisi bekas. Sementara preloved, adalah menjual atau membeli barang dari koleksi pribadi seseorang.
Barang thrift umumnya berupa item fashion, seperti baju, jaket, celana, rok, dress, sepatu, dan lain sebagainya. Biasanya, barang-barang ini didapatkan pedagang dari pasar luar negeri seperti Amerika Serikat, Korea, China, hingga Bangkok. Selain itu, barang thrift biasanya berasal dari sumbangan, sering kali melalui organisasi amal seperti Goodwill atau Salvation Army.
Sedangkan, barang preloved dapat berupa item apa saja, termasuk buku, action figure, hingga barang koleksi pribadi yang masih berada dalam kondisi baik. Barang koleksi pribadi ini dapat berupa barang mewah, barang keluaran merek besar atau branded, dan barang biasa yang dipakai sehari-hari.
Perbedaan kedua terletak dari harganya. Barang-barang thrift dijual di toko thrift, pasar loak, dan tempat penjualan barang bekas lainnya. Harga di toko thrift juga cenderung lebih terjangkau karena barang-barangnya hasil sumbangan atau donasi dari orang lain karena sudah tidak dipakai lagi.
Sementara itu, barang preloved lebih sering dijual secara online melalui platform media sosial, e-commerce, atau melalui toko-toko khusus preloved. Selain itu, harga barang preloved mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan barang thrift karena proses kurasi dan kontrol kualitas yang lebih ketat.
Toko preloved bisa bersifat lebih personal dan fokus pada komunikasi yang baik antara penjual dan pembeli untuk memastikan barang-barang tersebut benar-benar dicintai dan dihargai. Hal ini karena barang preloved merupakan koleksi pribadi yang dijaga kondisinya oleh sang pemilik.
Adapun barang-barang di toko thrift sangat beragam dan sering kali mencakup berbagai kategori, pakaian. Proses penyortiran dan kurasi di toko thrift juga mungkin tidak seketat di toko preloved, sehingga kualitas barang bisa sangat bervariasi. Mulai dari yang masih sangat bagus hingga yang memerlukan sedikit perbaikan.
Tak hanya itu, barang thrift juga umumnya bertemakan vintage dengan gaya era 90-an karena sudah dipakai cukup lama. Berbeda dengan barang preloved yang tergolong keluaran terbaru dan hanya dipakai beberapa kali saja. Hal ini juga yang memengaruhi harga dari barang thrift dan preloved.
Bisnis Thrifting di Indonesia
Suasana penjualan pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Kamis, 3 November 2022. Meningkatnya tren membeli baju bekas atau thrifting di kalangan anak muda berdampak terhadap jumlah impor pakaian bekas. Tempo/Tony Hartawan
Naiknya tren bisnis thrifting di Indonesia menimbulkan dilema. Melansir dari Majalah Tempo yang berjudul “Dilema Bisnis Thrifting Pakaian Bekas”, di satu sisi berjualan pakaian bekas bisa menggerakkan perekonomian terutama di lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah. Bahkan bisnis ini menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali aset yang mangkrak.
Tapi, di sisi lain, penjualan pakaian bekas hasil impor mengganggu industri tekstil dan garmen dalam negeri. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Esther Tri Astuti mengatakan impor pakaian bekas menggerus 15 persen pangsa pasar produsen tekstil domestik. “Sehingga merugikan perekonomian nasional,” ucapnya pada Rabu, 10 Juli 2024.
Impor pakaian bekas juga memicu persoalan lain, yaitu bertambahnya tumpukan sampah. Pakaian bekas yang dibuang, Esther menjelaskan, adalah sampah yang sulit dimusnahkan karena mengandung bahan kimia tertentu yang sulit terurai.
Karena itu, Esther menambahkan, diperlukan upaya serius untuk menahan impor pakaian bekas yang masuk secara legal maupun ilegal.
Perbaikan menyeluruh perlu dilakukan pemerintah untuk menjadikan produk pakaian lokal murah, berkualitas, serta mengikuti trend mode yang diminati pasar. “Sekolah tinggi tekstil bisa diperbanyak, dari sisi bahan baku hulu ke hilir,” kata dia.
Pilihan Editor: Deretan Judul Film yang Memengaruhi Tren Fashion, dari Breakfast at Tiffany’s dan The Devil Wears Prada
RADEN PUTRI | LAILI IRA
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika