LUMPKINSJAIL.ORG, Jakarta – Selain aktor, sutradara punya peran penting dalam produksi film Indonesia. Bagaimana sutradara mengarahkan para cast agar sejalan dengan pesan film yang disampaikan. Yuk, kenalan dengan para sutradara perempuan yang karyanya bukan hanya dinikmati di Indonesi, tetapi juga mancanegara.
Kamila Andini/Foto: Instagram/Kamila Andini
Kamila Andini merupakan sutradara perempuan yang sudah mendapatkan banyak penghargaan untuk berbagai karya filmnya. Film Rahasia Dibalik Cita Rasa (2002) menjadi debut penyutradaraannya.
Kamila Andiri memenangkan Piala Citra 2011 kategori Cerita Asli Terbaik untuk film The Mirror Never Lies, yang juga mendapatkan penghargaan internasional seperti Festival Film Internasional Tokyo, Festival Film Internasional Hongkong, dan Festival Film Internasional Berlin. Kamila Andini mendapatkan nominasi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2018 lewat film Sekala Niskala, dan masuk nominasi di banyak festival film internasional.
Sutradara perempuan Indonesia ini dikenal dengan film-filmnya yang menjadikan perempuan sebagai karakter utama. Perempuan 36 tahun ini mengakui bahwa seluruh filmnya mewakili resentasi perempuan dari berbagai generasi.
“Karya-karya saya adalah karya personal, dengan saya menulis cerita pribadi dan menyutradarainya. Dan dalam setiap film saya, saya pasti selalu punya tokoh utama perempuan, baik itu perempuan remaja ataupun dewasa, seorang istri atau seorang ibu,” kata Kamila Andini saat menjadi pembicara dalam acara Reflections of Me yang diadakan oleh Netflix pada Kamis, 16 Maret 2023.
Kamila Andini Kenali Diri Sendiri Lewat Karakter Perempuan dalam Filmnya
Lebih lanjut, Kamila Andini menjelaskan alasannya selalu menjadikan perempuan sebagai karakter utama dalam filmnya. Rupanya, ini adalah salah satu cara Kamila Andini untuk membantunya mengenali diri sendiri.
“Karena menurut saya, setiap dari mereka betul-betul mewakili diri saya. Pada saat saya membuat film, saya ingin melihat dan mengetahui siapa diri saya sebagai kreator dan individu, dan saya berusaha untuk menjawabnya pada saat saya membuat suatu film,” kata putri dari sutradara, penulis skenario, dan produser film Garin Nugroho.
Sederet film Kamila Andini dengan karakter utama perempuan yang kuat dan ikonik adalah Yuni (2021), Losmen Bu Broto (2021), dan Before, Now & Then atau Nana (2022). Film-filmnya tersebut bahkan sudah tembus festival film internasional dan mendapat penghargaan. Film terbarunya yang akan segera tayang di Netflix adalah Gadis Kretek, dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Putri Marino.
“Saya juga merasa bahwa setiap karakter-karakter tersebut, saya bisa melihat diri saya di situ dan saya ingin meletakkan ide-ide, pemikiran dalam film pada karakter mereka,” katanya.
2. Nan T. Achnas
Semakin banyak sineas Indonesia berkiprah di panggung festival internasional. Salah satunya sutradara Indonesia, Nan Triveni Achnas, 53 tahun, yang terpilih sebagai juri Festival Internasional Sinema Asia (FICA) pada penyelenggaraan yang ke-22. Festival ini diselenggarakan di Kota Vesoul, Prancis, 3-10 Februari 2016.
Festival ini pertama kali digelar pada 1995 dan merupakan festival tertua di Eropa, yang berfokus pada sinema Asia. FICA dihadiri oleh 30 ribu pengunjung dan menghadirkan 90 film yang diproduksi atau dibuat di Asia setiap tahunnya.
Nan Triveni Achnas sebelumnya telah menyutradarai beberapa film yang mendapat dukungan dari Fonds Sud Cinéma, sebuah program bantuan dana dari Prancis untuk film-film panjang terpilih asal Afrika, Amerika Latin, Asia Timur Dekat, dan Timur Tengah. “Salah satu film Nan Achnas yang menerima bantuan tersebut adalah The Photograph,” ujar Dwi Setyowati, Atase Pers Institut Francais d’Indonesie dalam siaran persnya hari ini. The Photograph juga terseleksi dalam program Fokus Festival Sinema Prancis 2015 di Indonesia.
Pada 2013, Nan Achnas pernah diundang menghadiri FICA, yang pada saat itu menyelenggarakan program retrospektif sinema Indonesia. Tahun ini ia akan bersanding dengan sutradara-sutradara Asia lainnya sebagai tim juri. Mereka adalah Im Song Soo (Korea, Presiden Juri), Mania Akbari (Iran), dan Euthana Mukdasanit (Thailand). Bersama-sama, mereka bertugas memilih tiga film terbaik untuk tiga penghargaan.
Nan Triveni Achnas merupakan lulusan Institut Kesenian Jakarta dan kini menjadi pengajar di tempat tersebut. Selain mengajar, dia juga menyutradarai berbagai film dokumenter dan film layar lebar. Dia terlibat dalam pembuatan film Pasir Berbisik, Bendera, dan The Photograph. Film terakhir ini mendapat penghargaan utama di Festival Internasional Karlovy Vary. Dia juga ikut memproduseri film Pesantren:3 Doa 3 Cinta dan Khalifah. Kedua film ini juga mendapatkan penghargaan Film Favorit Penonton di FICA Vesoul.
3. Nia Dinata
Sutradara dan Producer, Nia Dinata, berpose saat media visit pemain film “Kenapa Harus Bule?” di kantor redaksi koran Tempo, Palmerah, Jakarta, 12 Maret 2018. Nia Dinata menjadi produser dalam film yang disutradarai Andri Cung tersebut. TEMPO/Nita Dian
Perempuan yang lahir dengan nama Nia Iskandar Dinata pada 4 Maret 1970 di Jakarta ini adalah salah satu sutradara wanita ternama negeri ini. Nia Dinata yang mengagumi aktor George Clooney pada hari ini berusia 53 tahun. Perempuan keturunan Sunda dan Minang ini adalah cucu pahlawan nasional Otto Iskandardinata dan juga putri dari Dicky Iskandardinata. Selain itu, Nia Dinata merupakan ipar dari Ersa Mayori.
Sebelum terjun langsung dalam industri film, Nia setelah lulus SMA Negeri 34 Jakarta, Jakarta pada 1988. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Amerika Serikat, tepatnya di Elizabethtown College dan mengambil program film di NYU Tisch School of Art, Amerika Serikat, sebagaimana dikutip dari p2k.unkris.ac.id.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, barulah Nia mendalami karier sebagai sutradara yang berawal dari pembuatan klip video dan film iklan. Lalu, pada awal 2000, Nia memberanikan diri membangun perusahaan film independen bernama Kalyana Shira Film. Dua tahun kemudian, ia menjadi sutradara sekaligus produser film Ca Bau Kan yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya novelis Remy Sylado. Film tersebut mengisahkan tentang situasi keturunan Tionghoa di Indonesia pada 1930-an. Film garapan Nia ini pun berhasil meraih beberapa penghargaan dari berbagai festival kelas internasional.
Pada 2004, Nia menyutradarai film Arisan! yang sangat sukses dan terbukti meraih beberapa penghargaan, termasuk dari Festival Film Indonesia dan MTV Movie Awards. Karya berikutnya yang digarap oleh Nia juga mendapat pujian dari kritikus film, yaitu Berbagi Suami film tentang poligami dalam tiga segmen dan melibatkan jumlah pemain film ternama, seperti Ria Irawan, Jajang C. Noer, dan Tio Pakusadewo.
Tak hanya itu, ia juga banyak bekerja di belakang layar sebagai sutradara, penulis, atau produser dari beberapa film, antara lain Joni be Brave (2003), Biola Tak Berdawai (2003), Kontrak Joni (2005), Quickie Express (2007), Meraih Mimpi (2009), Arisan! 2 (2011), dan Langit Biru (2011). Nia pun pernah menggarap serial terbaru pada 2022 berjudul Suka Duka Berduka bersama Andri Cung dan ia juga menjadi penulisnya dengan Agasyah Karim dan Khalid Kashogi.
4. Lola Amaria
Lola Amaria/Foto: Instagram/Lola Amaria
Lola Amaria bukan wajah baru di dunia film Indonesia, selain model dan aktris, ia kemudian menjadi sutradara dan produser film pula. Lola Amaria mengawali karirnya sebagai model dan meraih penghargaan busana nasional terbaik dalam ajang Wajah Femina 1997. Tak berhenti sebagai model, ia mulai menapaki dunia film. Meskipun awalnya Lola hanya berlakon, ia menempa dirinya secara otodidak hingga dapat menjadi produser dan sutradara film.
Sinetron yang pernah ia bintangi antara lain Arjuna Mencari Cinta, Tali Kasih, dan Merah Hitam Cinta. Orang tentu masih ingat perannya di film Ca Bau Kan, beradu akting dengan Ferry Salim pada 2001.Di tahun yang sama, ia bermain di film Merdeka 17805.
Film pertama Lola sebagai produser adalah Novel Tanpa Huruf R pada 2004. Tidak hanya itu, gadis berdarah Palembang-Sunda ini juga menyutradai film berjudul Betina yang berhasil meraih penghargaan “Netpac Award” pada Jogja-Netpag Asian Film Festival (JAFF) pada 2006. Pada 2010, ia menyutradarai film yang menyedot perhatian masyarakat karena mengangkat kisah pekerja migran di film Minggu Pagi di Victoria Park.
Sebagai produser dan sutradara antara lain hasil karyanya di film Labuhan Hati pada 2017, Lima (2018) dan 6,9 Detik (2019). Ia pun menulis skenario untuk film Negeri Tanpa Telinga (2014) dan Jingga (2016).
Dan, melalui Lola Amaria Production, film terbaru yang Lola distribusikan adalah film Pesantren. Lola berencana untuk mendistribusikan film yang dibuat pada 2015 tersebut secara masif melalui bioskop, meskipun dalam beberapa tahun terakhir sudah ditayangkan untuk kalangan terbatas antara lain di beberapa kampus dan pesantren di Indonesia, bahkan beberapa festival di luar negeri.